
SEMARANG – Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Afif angkat bicara terkait dengan gejolak yang terjadi pasca ditetapkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-undang oleh Pemerintah dan DPR.
Menurut Afif, dengan gejolak aksi unjuk rasa oleh serikat buruh dan mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah, harusnya pemerintah tidak hanya diam dan segera mengambil langkah untuk menenangkan suasana.
“Pemerintah harusnya tanggap dengan gejolak turunnya aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah. Jangan kemudian diam,” katanya, Jumat (9/10/2020).
Menurut Afif, pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja semakin membuat rakyat menderita sekaligus merampas hak-hak kaum pekerja. Apalagi saat ini masih dalam kondisi pandemi Covid-19.
“Saat ini masyarakat tengah berjuang melawan pandemi. Dan semestinya pemerintah konsen dalam menangani pandemi. Bukan justru mengesahkan undang-undang yang menuai kontroversi ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut Afif yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Semarang itu mengungkapkan, ada beberapa hal yang disorot dan dikritisi masyarakat, seperti kelompok buruh atau pekerja. Menurutnya, ada hak-hak buruh yang dipangkas oleh pemerintah didalam UU Cipta Kerja.
Salah satunya yakni pengaturan tentang ketenagakerjaan yang dibuat lebih longgar. Termasuk soal Sistem Kerja baik waktu maupun jenis pekerjaan, yang berlaku khususnya pada Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT) dan Pekerja Alih Daya (Outsorching), demikian juga dengan pengupahan, PHK dan Jaminan lainnya.
“Dampaknya sangat jelas, di dalam UU secara umum merugikan para buruh. Dan ada hak-hak yang dipangkas oleh pemerintah. Misalnya, buruh yang selama ini sudah nyaman bekerja sebagai karyawan tetap, kemudian ada UU itu menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi yang sebelumnya tetap menjadi karyawan tidak tetap,” ungkapnya.
Lalu kekhawatiran menyangkut pekerja alih daya atau outsourcing. Menurutnya, didalam UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
Sementara didalam UU Cipta Kerja, tak dicantumkan lagi batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pekerja alih daya.
Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.
“Pengusaha bisa melakukan tindakan sewenang-wenang. Belum lagi ada hak cuti yang dipangkas, seperti cuti hamil dan sebagainya. Itu gambaran secara umum. Bahwa UU itu benar-benar merugikan dan menindas para pekerja,” tandasnya.
Untuk itu, dirinya berharap pemerintah tidak hanya diam saja, melainkan segera melakukan evaluasi terkait dengan UU Cipta Kerja. Salah satunya dengan langkah Presiden untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
“Ini dilakukan untuk meredam aksi unjuk rasa dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja itu. Sekaligus untuk melindungi hak-hak para buruh ataupun pekerja,” tambahnya.
Sumber: Konten Jateng