Penurunan Muka Tanah di Semarang Parah, Suharsono: Ada 24 Kelurahan di Lima Kecamatan Masuk di Zona Merah

SEMARANG –  Fenomena penurunan muka tanah atau land subsidence di Kota Semarang semakin parah. Maka dari itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang diminta untuk serius menangani permasalahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut.

Sebab, penurunan muka tanah ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya banjir di Kota Semarang.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031 telah diatur pemetaan wilayah. Terdapat sejumlah zona merah di Kota Semarang yang ditetapkan, agar tidak terjadi eksploitasi air bawah tanah secara berlebihan.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Suharsono menjelaskan, penurunan muka tanah di Kota Semarang menjadi persoalan serius. Sebab, kondisi daratan Kota Semarang saat ini semakin menurun.

“Wilayah pesisir Kota Semarang saat ini sejajar dengan air laut,” ujarya, Rabu (3/3/2021).

Dia menyebut, berdasarkan hasil penelitian Undip, terdapat 24 kelurahan di lima kecamatan di Kota Semarang.

“Dampak penurunan muka tanah secara tidak langsung adalah banjir. Sedangkan dampak langsungnya berupa retaknya bangunan, tanah bergerak dan seterusnya,” terang dia.

Suharsono menjelaskan, penurunan muka tanah di Kota Semarang sedikitnya disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, pengambilan air bawah tanah secara berlebihan atau eksploitasi air tanah, kedua karena konsolidasi tanah aluvial yang masih muda dan ketiga akibat beban bangunan berlebihan.

“Terkait pengambilan air bawah tanah, sebetulnya kita sudah memiliki Perda RT-RW Kota Semarang. Di situ ditetapkan wilayah zona merah. Di wilayah zona merah dilarang mengambil air bawah tanah. Tidak boleh ada bangunan dengan konstruksi besar-besaran,” tegasnya.

Zona merah tersebut telah dilakukan pemetaan wilayah yang dilarang air tanahnya diambil.

“Sehingga tidak ada lagi pengambilan air bawah tanah atau air artesis. Mulai dari Semarang Barat, Tawangsari, Tawangmas, Semarang Tengah seperti Purwosari, Semarang Timur ada Kemijen, dan masih banyak yang lain. Hotel tidak boleh mengambil air tanah,” katanya.

Senada dengan Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang, Joko Santoso mengatakan, terkait penurunan muka tanah di Kota Semarang masih tinggi. Sekitar 10- 20 cm/tahun turunnya muka tanah.

“Tanda penurunan muka tanah itu dipasang di Rumah Pompa Kali Semarang. Hal ini karena belum patuhnya masyarakat dalam penggunaan air tanah,” katanya.

Dikatakan Joko, Pemerintah Kota Semarang tidak bisa mengkontrol hal ini, karena yang secara langsung berkaitan dengan aturan penggunaan air bawah tanah (ABT) adalah pemerintah provinsi.

“Ranahnya ada di pemerintah provinsi, kita hanya bisa mengawasi dan menyampaikan hal tersebut ke provinsi. Masih banyak pelanggaran untuk pemakaian air artetis di zona merah, seperti di Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Timur dan Genuk, masih menggunakan air bawah tanah. Saya mendorong Pemkot Semarang mewajibkan agar semua warga menggunakan air PDAM sehingga bisa menjaga keberlangsungan muka tanah di Kota Semarang,” terangnya.

Sementara itu, pakar Tata Ruang Kota dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Bambang Setyoko mengaku pesimistis bila fenomena land subsidence di Kota Semarang bisa diatasi oleh pemerintah saat ini. Sebab, pengambilan air tanah ini cenderung dibiarkan. Misalnya hotel.

“Tingkat penurunan tanah dan upaya pemerintah tidak seimbang,” katanya belum lama ini.

Sejauh ini, lanjut dia, pengendalian air bawah tanah ini regulasinya mengacu kepada aturan Undang-Undang (UU) yang dijalankan di tingkat provinsi.

Ironisnya, sejauh ini jarang atau bahkan tidak pernah terdengar adanya penegakan terhadap pelanggar. Padahal di Kota Semarang, air bawah tanah banyak digunakan untuk kepentingan industri seperti hotel dan lain-lain.

“Sepanjang pengetahuan saya, belum ada penindakan. Padahal sebetulnya kan tidak terlalu sulit untuk mendeteksi. Bahkan kantor gubernuran itu mengambil air bawah tanah,” katanya.

Dampak dari penurunan muka tanah selain banjir adalah fenomena matinya sumber mata air sendang alam, maupun embung mengering.

“Hal itu diperparah lahan hutan di wilayah hulu ditebang dan berubah fungsi menjadi perumahan, real estate dan lain-lain,” katanya.

Sumber: Halo Semarang