SEMARANG – DPRD Kota Semarang terus menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) sebagai upaya memperkuat sistem kesehatan daerah. Dalam pembahasannya, peran BPJS Kesehatan menjadi salah satu sorotan utama agar penanganan TBC berjalan lebih efektif dan terintegrasi.
Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang dari Fraksi PKS, Siti Roika yang akrab disapa Ika, menekankan pentingnya keterlibatan BPJS Kesehatan dalam menjamin pelayanan diagnosis dan pengobatan TBC sesuai standar nasional. Ia menyebutkan bahwa layanan seperti pemeriksaan dahak, rontgen, serta pemberian obat anti-TB (OAT) harus menjadi bagian dari jaminan BPJS.
“Pemeriksaan seperti dahak, rontgen, dan obat anti-TB (OAT) harus masuk dalam jaminan BPJS. Ini termasuk efisiensi rujukan dari faskes primer ke rumah sakit rujukan untuk kasus TB resisten obat,” ujar Ika pada Selasa (17/6/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya efisiensi pembiayaan antara dana pemerintah pusat dan BPJS Kesehatan agar tidak terjadi pembiayaan ganda. Raperda ini juga mengatur sinergi antara pendanaan APBD dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), guna memastikan keberlangsungan dan kelengkapan layanan bagi pasien TB.
Tak hanya aspek pembiayaan, langkah preventif dan represif juga menjadi fokus Raperda tersebut. Pemkot Semarang, menurut Ika, telah menunjukkan komitmen dalam penanggulangan TBC melalui pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TB sejak Mei 2024. Tim ini mendorong pelaksanaan edukasi masyarakat, sosialisasi, dan deteksi dini sebagai bagian dari strategi pencegahan.
“Kita dorong edukasi tidak hanya dari sisi medis, tapi juga sosial dan psikologis. Karena TB ini penyakit menular, banyak pasien merasa dikucilkan. Maka dukungan keluarga dan masyarakat sangat penting,” jelasnya.
Pemerintah Kota juga menggandeng tokoh agama dan lembaga keagamaan dalam upaya penyadaran dan penyembuhan, untuk memperkuat semangat pemulihan pasien baik secara fisik maupun mental.
Dari sisi represif, Raperda mengatur sanksi administratif terhadap fasilitas kesehatan yang tidak melaporkan kasus TB atau tidak memberikan pelayanan sesuai standar operasional prosedur. Selain itu, sistem pendampingan pasien akan diperkuat untuk memastikan kepatuhan dalam menjalani pengobatan hingga tuntas.
“Kita tidak hanya bicara aturan, tapi bagaimana penegakan dan implementasi kebijakan bisa menyentuh masyarakat hingga tingkat bawah,” tegas Ika.
Raperda tentang Penanggulangan TBC ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kokoh dalam upaya eliminasi TBC di Kota Semarang. Lebih dari itu, regulasi ini diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam membangun sistem kesehatan masyarakat yang tangguh, inklusif, dan kolaboratif.